Berita
hari ini membuat saya tercengang. Bagaimana tidak, berita tersebut menceritakan
seorang ibu muda yang sedang hamil 7 bulan (sebut saja Anggrek) hendak menjual
ginjalnya demi melunasi utang kepada rentenir yang mencapai Rp1 miliar. Awalnya,
Ibu Anggrek meminjam uang untuk modal usaha minyak goreng yang baru dirintisnya
untuk pertama kali. Sayangnya, usaha tersebut tidak berjalan lancar karena
ketidakmampuan Ibu Anggrek dalam mengelola usahanya. Parahnya lagi, utang bunga
yang berlipat-lipat membuat keuangan Ibu Anggrek semakin terpuruk.
Kisah Ibu
Anggrek ini bukan sekali dua kali terjadi. Masih banyak di luar sana
orang-orang yang harus banting tulang demi terbebas dari belenggu para
rentenir. Rasa penasaran pun mendorong saya untuk mencari tahu, mengapa para
rentenir ini masih menjadi opsi bagi masyarakat untuk mendapatkan modal
usahanya. Padahal, sudah banyak cerita tentang kejamnya belenggu para rentenir
tersebut. Bukankah sudah banyak Lembaga pembiayaan formal yang terdaftar dan
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang tentunya lebih aman? Belum lagi adanya
program-program yang diluncurkan pemerintah dalam membantu permodalan usaha
masyarakat.
Permodalan : Momok bagi para Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil seperti UMKM memiliki kondisi permodalan yang cukup
rentan terhadap persaingan usaha yang semakin ketat dan ancaman tak terduga
seperti pandemi Covid-19. UMKM harus menjaga ketersediaan modalnya agar dapat
terus bertahan dan mengembangkan usahanya. Sayangnya, banyak UMKM yang masih
terkendala permasalahan sumber permodalan. Sebagai contoh banyaknya UMKM yang belum
terjamah oleh pembiayaan dari lembaga pembiayaan formal khususnya perbankan. Padahal,
sektor UMKM memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia
dengan menyumbang sekitar 61% Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan menyerap
sekitar 97% tenaga kerja. Tak jarang pelaku UMKM terpaksa harus meminjam modal
kepada rentenir atau pinjaman online
(pinjol) illegal yang justru memperparah kondisi keuangan debiturnya layaknya
kasus yang dialami oleh Ibu Anggrek.

Rasa penasaran saya akan keberadaan rentenir yang masih eksis di
kalangan masyarakat terjawab oleh tulisan yang dipublikasikan Bapak Mirza
Adityaswara di website resmi FEB UI. Dalam tulisannya, beliau mengangkat
problematika yang muncul antara kreditur dan debitur UMKM. Jika Lembaga
pembiayaan formal seperti bank swasta dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)
ingin menyalurkan pembiayaan, mereka akan menginginkan margin yang cenderung
tinggi. Namun, jika margin yang diberikan tinggi, maka para debitur UMKM tidak akan
sanggup memenuhinya. Sementara jika margin yang diberikan terlalu rendah, maka
para kreditur tersebut enggan menyalurkan pembiayaannya. Belum lagi para calon debitur
yang belum memenuhi persyaratan pembiayaan seperti prospek usaha yang
menjanjikan dan agunan untuk dijadikan jaminan pembiayaan, sehingga pengajuan
pembiayaan pun tidak disetujui. Sedangkan rentenir, mereka dapat dengan
mudahnya memberikan pinjaman tanpa syarat tertentu namun dengan bunga selangit.Solusi Pemerintah dalam Menyokong Permodalan UMKM
Peran pemerintah dalam mengatasi kesulitan modal bagi UMKM sangatlah
penting. Jangan sampai rentenir ikut berperan dalam permodalan para UMKM ini. Agar
UMKM bisa memperoleh pembiayaan dari Lembaga pembiayaan formal, pemerintah
diharapkan mampu menjadi penengah antara kreditur dan debitur UMKM sehingga penyaluran
pembiayaan dapat berjalan sesuai keinginan masing-masing pihak. Faktanya,
pemerintah sudah meluncurkan program untuk membantu permasalahan tersebut salah
satunya dengan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Untuk saat ini program tersebut
disalurkan melalui perbankan sehingga UMKM yang belum dapat mengakses
pembiayaan perbankan tidak dapat menggunakan fasilitas pembiayaan tersebut. Namun,
UMKM tak perlu berkecil hati, karena pemerintah telah memberikan fasilitas
pembiayaan untuk debitur yang mengalami keterbatasan dalam mendapatkan
pembiayaan dari perbankan, yakni dengan meluncurkan pembiayaan Ultra Mikro
(UMi) yang dikoordinasikan oleh Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU
PIP) dan disalurkan melalui lembaga penyalur yang ditunjuk.
Apa itu Pembiayaan UMi?
Berdasarkan
PMK No 193/PMK.05/2020 tentang Pembiayaan Ultra Mikro, pembiayaan ultra mikro (UMi)
merupakan program fasilitas pembiayaan kepada usaha ultra mikro baik dalam
bentuk pembiayaan konvensional maupun syariah. Pembiayaan ini bertujuan untuk
menyediakan fasilitas yang mudah dan cepat bagi usaha ultra mikro serta
menambah jumlah wirausaha yang difasilitasi oleh pemerintah. Jumlah pembiayaan
yang diberikan maksimal sebesar Rp 20 juta per individu baik dengan agunan
untuk debitur individu maupun tanpa agunan untuk debitur kelompok (mekanisme
tanggung renteng). Jadi, bagi pelaku usaha yang tidak memiliki agunan, dapat
terfasilitasi dengan pembiayaan UMi melalui mekanisme kelompok (tanggung
renteng).

Sebelumnya, pemerintah juga telah memberikan fasilitas KUR. Lalu, apa
bedanya dengan pembiayaan UMi ini? Perbedaan antara fasilitas KUR dan
pembiayaan UMi salah satunya dari sisi lembaga penyalur. Fasilitas KUR
disalurkan melalui perbankan, sedangkan fasilitas pembiayaan UMi disalurkan
melalui LKBB. Dari segi plafon, KUR memberikan plafon lebih besar yakni
maksimal Rp25 juta untuk usaha mikro dan Rp 500 juta untuk ritel dengan tenor
pinjaman jangka Panjang (>1 tahun). Sedangkan pembiayaan UMi memberikan
plafon maksimal Rp20 juta per individu dengan tenor jangka pendek.
Pentingnya Pembiayaan UMi bagi Perekonomian
Indonesia
Dengan adanya program pembiayaan UMi, kesempatan para UMKM khususnya
usaha mikro untuk memperoleh modal usaha menjadi lebih mudah. Berdasarkan data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) per 6 Juli 2021, pembiayaan UMi mampu membantu
pembiayaan ultra mikro kepada setidaknya 4,5 juta debitur yang menjangkau 469
dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi Indonesia, dengan total pembiayaan 14,78
T. Bayangkan bila program ini tidak diberikan, maka setidaknya ada 4,5 juta
debitur yang terancam kesulitan mempertahankan usahanya dan berisiko menjadi
sasaran para rentenir atau pinjol illegal seperti kasus yang dialami oleh Ibu
Anggrek.

Selain mendapatkan bantuan pembiayaan, para debitur UMi juga mendapatkan
pendampingan dari lembaga penyalur seperti pemberian motivasi, konsultasi
terkait usaha, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), pengawasan
terhadap debitur serta program pendampingan lainnya. Belajar dari kasus Ibu
Anggrek, ketidakmampuan dalam mengelola usaha khususnya usaha yang baru
dirintis sangatlah berbahaya. Program pendampingan ini dapat menjadi salah satu
solusi untuk mencegah terhambatnya usaha dan mendorong para usaha mikro untuk
naik kelas ke skala usaha yang lebih besar.
Kriteria agar mendapatkan Pembiayaan UMi
Bagi
pelaku UMKM yang ingin mengajukan pembiayaan UMi, dapat mandatangi
kantor-kantor penyalur atau lembaga linkage
terdekat. Penyalur yang dimaksud merupakan Lembaga Keuangan Bukan Bank
(LKBB) yang ditunjuk oleh pemerintah dalam hal ini BLU PIP untuk menyalurkan
pembiayaan UMi kepada para debitur. Penyalur tersebut antara lain PT Pegadaian,
PT Bahana Artha Ventura dan PT Permodalan Nasional Madani. Sedangkan lembaga linkage merupakan LKBB yang menjadi
mitra kerja penyalur dalam menyalurkan pembiayaan UMi seperti koperasi. Tapi,
sebelum mendatangi kantor-kantor penyalur tersebut, pastikan bahwa calon
debitur telah memenuhi kriteria untuk mengajukan pembiayaan UMi ya. Adapun kriterianya,
yakni :
- Tidak sedang
dibiayai oleh kredit program Pemerintah di bidang usaha mikro, kecil, dan
menengah yang tercatat dalam SIKP;dan
- Dimiliki oleh
Warga Negara Indonesia yang dibuktikan dengan nomor induk kependudukan sebagaimana
tercantum dalam kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan pengganti
kartu tanda penduduk elektronik.
Cukup
mudah bukan persyaratannya? Andai saja Ibu Anggrek sudah lebih dulu berkenalan
dengan pembiayaan UMi, saya yakin tak akan pernah terbesit dipikirannya untuk
menjual ginjalnya demi melunasi utang. Ayo kita move on dari rentenir!
Untuk
informasi lebih lanjut, dapat dilihat melalui pip.kemenkeu.go.id.
#PIPUMi
#UMiUntukNegeri
Referensi :